Kematian
nggak pernah diketahui datangnya. Setiap orang pasti mati. Tapi semua
orang tak pernah tahu kapan kematian menjemputnya. Itu sebabnya, kita
kudu siap-siap sebelum datang hari di mana kita harus sudah pergi
meninggalkan segala nikmat dunia. Kalo kita perhatiin, ada yang sebelum
mati sempat ninggalin pesan tertentu kepada keluarganya. Tapi banyak
juga yang pergi ninggalin dunia tanpa pesan.
Banyak orang juga yang
insya Allah saat ajal mendekat ia masih bisa beramal shalih. Khusnul
khatimah alias baik di akhir hidupnya. Namun nggak sedikit yang saat
ajal mendekatinya dan benar-benar menjemputnya ia sedang berbuat
maksiat. Su’ul khatimah alias buruk di akhir hayatnya Naudzubillahi min dzalik.
Bro
en Sis, ajal setiap orang udah ditetapkan waktunya. Udah dijatah sama
Allah Swt. batas waktu ‘beredar’ setiap orang di dunia. Jangan lupa
juga bahwa hidup kita dunia ini akan diuji, siapa yang terbaik amalnya.
Firman Allah Swt. (yang artinya): “Maha Suci Allah Yang di
tanganNyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu,
Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di
antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS al-Mulk [67]: 1-2)
Yup,
ada ganjaran berupa pahala yang akan diberikan oleh Allah Swt untuk
setiap ibadah yang kita lakukan. Begitu pula, Allah Swt. akan
memberikan siksa bagi manusia manapun yang telah berbuat dosa dalam
kehidupannya (atau bahkan selama hidupnya). Tentu itu adil dong ya.
Mereka yang beriman dapat pahala, dan siapa saja yang berbuat maksiat
diberikan siksa karena dosa-dosanya. So, emang nggak akan lepas dari pengawasan Allah Ta’ala. Waspadalah!
Terus,
gimana kalo kita kadang berbuat maksiat? Ya, Allah Swt. udah ngasih
jalan, yakni dengan cara bertobat alias minta ampunan. Setelah bertobat
tentu harus ninggalin maksiat yang telah atau biasa dilakukannya
sebagai wujud tobat yang sebenarnya-benarnya. Allah Swt. berfirman
(yang artinya): “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya).” [QS at-Tahriim [66]: 8]
Kita semua pernah berbuat dosa
Sobat muda muslim, siapa pun orangnya, pasti ia pernah melakukan
dosa, kecuali Rasulullah saw. tentunya, karena memang beliau ma’shum
(terbebas dari dosa dan kesalahan) dalam penyampaian risalah Allah ini.
Itu sebabnya, saya waktu ngaji dulu, ustadz saya sering mengatakan
bahwa, “Orang yang bertakwa bukanlah orang yang selalu benar dalam
hidupnya. Tapi orang yang bertakwa adalah ketika berbuat dosa, kemudian
menyadari dan segera memohon ampunan kepada Allah Swt.”
Rupanya
ungkapan ustadz saya itu melumerkan kengototan saya waktu itu, yang
menilai bahwa orang yang bertakwa adalah orang yang selalu benar dalam
hidupnya. Pernyataan ustadz saya ini juga semakin menumbuhkan keyakinan
dalam diri saya bahwa meski kita tak boleh salah dalam hidup ini,
bukan berarti kita akan lolos dari kesalahan. Karena yang terpenting
adalah menyadari kesalahan tersebut dan bertekad untuk tidak
mengulanginya lagi sambil mohon ampunan kepada Allah Swt.
Imam Ibnu Katsir menukil sabda Rasulullah saw.: “Seorang
hamba tidak dapat mencapai kedudukan muttaqin kecuali jika dia telah
meninggalkan perkara-perkara mubah lantaran khawatir terjerumus ke
dalam dosa” (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Boys
and gals, menurut hadis ini, yang mubah saja bila perlu dihindari
karena khawatir terjerumus dalam dosa, apalagi yang sudah jelas haram.
Iya nggak sih? Oya, dalam keterangan lain, orang yang bertakwa adalah
orang yang mampu menjaga dan membentengi diri. Ibnu Abbas ra. mengatakan
bahwa muttaqin adalah orang-orang yang berhati-hati dan
menjauhi syirik serta taat kepada Allah. Sedangkan Imam Hasan Bashri
mengatakan bahwa bertakwa berarti takut dan menghindari apa yang
diharamkan Allah Swt. dan menunaikan apa-apa yang diwajibkan oleh Allah
Swt.. Berusaha sekuat tenaga untuk melaksanakan perintahNya dan
menjauhi laranganNya. Sedangkan Ibnu Mu’tazz melukiskan sikap yang
mesti ditempuh seorang muslim agar mencapai derajat muttaqin dengan kata-kata sebagai berikut: “Tinggalkan
semua dosa kecil maupun besar. Itulah takwa. Dan berbuatlah seperti
orang yang berjalan di tanah yang penuh duri, selalu waspada. Jangan
meremehkan dosa kecil. Ingatlah, gunung yang besar pun tersusun dari
batu-batu kecil”.
Nah, kebayang banget kan
kalo semasa hidupnya ada orang yang selalu maksiat. Duh, gimana tuh
dosanya. Termasuk dalam hal ini adalah orang-orang yang ketika hidupnya
selalu melecehkan kaum muslimin, menghina ajaran Islam, dan malah
lebih memilih bersahabat dengan musuh-musuh Islam. Ih, dosanya pasti
berlipat-lipat. Apalagi pas ajalnya datang nggak bertobat. Naudzubillahi min dzalik.
Memang
sih urusan dosa Allah Swt. yang akan menghisabnya. Tapi kan kita juga
diajarkan oleh Rasulullah saw. untuk menilai seseorang dalam
berperilaku. Bahwa yang kita nilai itu adalah yang tampak dan sudah
jelas dilakukan seseorang (“nahnu nahkumu bidzdzawaahir”,
begitu kata Nabi saw.). Misalnya, ada orang yang ngomong bahwa
demokrasi itu sistem yang lebih baik dari Islam (sambil dengan bangga
menentang upaya perjuangan orang-orang yang ingin menegakkan Khilafah
Islamiyyah), dia juga ngoceh bahwa pluralisme, sekularisme, dan
liberalisme lebih hebat ketimbang Islam, selain itu dia
terang-terangan melecehkan kaum muslimin. Nah, untuk orang yang kayak
gini tentu saja kita bisa menilai nih orang udah bermaksiat kepada
Allah Swt. Tentu, berdosa dong ya.
Minta ampunan Allah Swt. yuk!
Sobat muda muslim, ampunan Allah jauh lebih besar dari murkaNya.
Lagi pula, memohon ampunan Allah (bertobat) sekaligus mencerminkan
kualitas ketakwaan kita kepada Allah. Karena orang yang bertakwa salah
satu cirinya adalah segera mohon ampunan kepada Allah jika dia sudah
menyadari kesalahannya. Jadi, nggak usah malu untuk bertobat en nggak
usah merasa ribet. Jalani aja sambil terus belajar supaya nggak kecebur
ke dalam jurang yang sama. Karena dengan belajar kita jadi tahu dan
yakin bisa menjalani hidup ini dengan tenang. Cobalah.
Rasulullah
saw. memberikan pujian buat kita-kita yang takwa dan taat pada ajaran
Islam. Apalagi sebelumnya kita ahli maksiat. Betul nggak? Indah nian
ungkapan Rasulullah saw. empat belas abad yang lampau: “…ada kaum
yang akan datang sesudah kalian (para sahabat r.a.). Mereka percaya
kepada (sekadar) kitab yang dibendel, lalu percaya dan mengamalkan
ajaran yang terkandung di dalamnya. Mereka lebih utama daripada kalian.
Mereka lebih besar pahalanya daripada kalian.” (HR Ibnu Mardawih yang dikutip dalam penjelasan di Tafsir Ibnu Katsir)
Bro
en Sis, hidup ini penuh dinamika. Penuh warna, penuh liku, penuh
lubang dan mendaki (Iwan Fals banget neh!). Kata orang bijak, hidup
adalah untuk mati. Bisa dipahami, karena akhir dari kehidupan adalah
kematian. Nggak salah-salah amat kok. Tapi, kita juga wajib ngeh, untuk
apa kita hidup. Untuk apa kita ada dunia ini. Dan, akan ke mana setelah
bersuka-cita, termasuk berduka-derita di dunia ini?
Kehidupan
ini pasti akan berakhir. Wak Haji Rhoma Irama juga tereak: “Pesta
pasti berakhir” (kalo disebut nama ini, kamu jangan langsung
menggoyangkan jempol tangan dan kaki ya, hehehe…). Hidup di dunia
ibarat menempuh sebuah perjalanan panjang dan melelahkan. Banyak sekali
cerita terukir di sini. Cerita suka, duka, derita, bahagia, sedih,
gembira, kecewa, optimisme, putus asa, peduli, kasih-sayang, cinta, dan
seabrek pernak-pernik dan kerlap-kerlip kehidupan dunia yang
melengkapinya.
Bro, perjalanan panjang di dunia
ini pasti akan berakhir. Ada terminal akhir yang merupakan tempat kita
berlabuh. Allah Swt. udah menyediakan dua tempat; surga dan neraka.
Surga untuk para pengumpul pahala, sementara neraka adalah kelas
‘eksklusif’ para pendosa.
Nah, mumpung kita
masih bisa bernapas, mumpung kita masih bisa tertawa, selagi kita masih
punya kesempatan banyak, di saat kita masih muda usia, sebelum air
mata penyesalan mengalir deras dari kedua mata kita, ada waktu untuk
kita perbaiki diri. Jangan putus asa juga buat para pendosa. Yakinlah,
selama hayat masih di kandung badan, kalian punya kesempatan yang sama
untuk menuai pahala. Bertobat dari berbuat maksiat, itu keputusan
tepat. Setelah itu mari belajar agama. Pahami, cermati, dan amalkan
dalam kehidupan.
Sobat muda muslim, ‘qod qola’
Alvin Toffler, “Perubahan tak sekadar penting untuk kehidupan.
Perubahan adalah hidup itu sendiri.” Paling nggak, kita berubah menjadi
baik dari buruk adalah sebuah perubahan yang menentukan hidup kita
sendiri.
Islam juga mengajarkan agar kita
senantiasa berbuat baik. Jika kebetulan berbuat maksiat, bertobatlah
segera. Diriwayatkan daripada Abu Said al-Khudri ra. katanya: Nabi saw.
bersabda: “Seorang lelaki dari kalangan umat sebelum kamu telah
membunuh sebanyak sembilan puluh sembilan orang manusia, lalu dia
mencari seseorang yang paling alim. Setelah ditunjukkan kepadanya
seorang pendeta, dia terus berjumpa pendeta tersebut kemudian berkata:
Aku telah membunuh sebanyak sembilan puluh sembilan orang manusia,
adakah taubatku masih diterima? Pendeta tersebut menjawab: Tidak.
Mendengar jawaban itu, dia lalu membunuh pendeta tersebut dan genaplah
seratus orang manusia yang telah dibunuhnya. Tanpa putus asa dia
mencari lagi seseorang yang paling alim. Setelah ditunjukkan kepadanya
seorang ulama, dia terus berjumpa ulama tersebut dan berkata: Aku telah
membunuh seratus orang manusia. Adakah taubatku masih diterima? Ulama
tersebut menjawab: Ya! Siapakah yang bisa menghalangi kamu dari
bertaubat? Pergilah ke negeri si fulan, karena di sana banyak orang yang
beribadah kepada Allah. Kamu beribadahlah kepada Allah Swt. bersama
mereka dan jangan pulang ke negerimu karena negerimu adalah negeri yang
sangat hina. Lelaki tersebut berjalan menuju ke tempat yang dimaksud.
Ketika berada di pertengahan jalan tiba-tiba dia mati, menyebabkan
Malaikat Rahmat dan Malaikat Azab berselish pendapat mengenai orang
tersebut. Malaikat Rahmat berkata: Dia datang dalam keadaan bertaubat
dan menghadapkan hatinya kepada Allah Swt. Namun Malaikat Azab juga
berkata: Dia tidak pernah melakukan kebaikan. Lalu Malaikat yang lain
datang dalam keadaan menyerupai manusia dan mencoba menengahi mereka
sambil berkata: Ukurlah jarak di antara dua tempat. Mana yang lebih
(jaraknya menuju negeri yang dituju), itulah tempatnya. Lantas mereka
mengukurnya. Ternyata mereka dapati lelaki tersebut tempat meninggalnya
lebih dekat kepada negeri yang ditujunya. Akhirnya dia diambil oleh
Malaikat Rahmat” (HR Bukhari dalam Kitab Kisah Para Nabi, hadis no. 3211)
Oke deh, bertobat lebih hebat ketimbang tetap berbuat maksiat. Kamu bisa kok. Yakin deh.
Apa yang harus kita lakukan?
Pertama, menyesal. Tanpa
penyesalan, rasanya sulit untuk tidak mengulangi perbuatan maksiat.
Penyelasan ini kudu benar-benar tumbuh dalam diri kamu. Minta maaf pula
kepada orang yang kamu “kerjain”. Janji nggak bakal ngulangi lagi. Kedua, niat sungguh-sungguh. Kuatkan tekad kita untuk menghentikan kebiasaan maksiat. Ada pahala pula di balik niat yang sungguh-sungguh itu. Ketiga, cari lingkungan yang mendukung. Ini
penting banget sobat. Sebab, kalo kamu belum bisa mengubah lingkungan,
jangan-jangan kamu yang terwarnai. Kalo lingkungannya baik sih oke
aja. Tapi kalo rusak? Bisa gawat kan? Jadi, gaul deh ama teman-teman
yang udah baik-baik untuk membiasakan kehidupan kamu yang baru.
Keempat,
tumbuhkan semangat untuk mengkaji Islam. Sobat, dengan mengkaji Islam,
selain menambah wawasan, juga akan membuat kita tetap stabil dengan
“kehidupan baru” kita. Maksiat? Sudah lupa tuh! Kelima,
senantiasa berdoa. Jangan lupa berdoa kepada Allah, mohon dibimbing dan
diarahkan, serta dikuatkan tekad kita untuk meninggalkan maksiat. “Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepadaKu, niscaya akan Kuperkenankan permohonanmu itu.” (QS al-Mukmin [40]: 60)
Yuk,
mumpung masih ada waktu, kita mohon ampunan kepada Allah Swt. Bertobat
dengan sebenar-benarnya bertobat. Tak mengulangi kemaksiatan yang
telah dilakukan dan sebaliknya kita berlomba memperbanyak amal shalih.
Semangat!
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar